NPM : 21209541
Kelas : 3EB13
Mengkompos, Menghasilkan Uang, Dan Perbaiki Lingkungan
Selama tinggal di Bandung, saya sudah beberapa kali mengalami saat-saat dimana sampah menumpuk di mana-mana, lebih-lebih di pasar. Ketika mengantar ibu belanja di dalam pasar, baunya sangat tidak enak sekali. Sampah memang merupakan persoalan yang sangat sulit diatasi pemerintah, dan kita pun tidak mau tertimpa persoalan yang tidak enak ini di masa mendatang. Namun dalam kenyataannya jumlah penduduk kian bertambah dan laju konsumerisme meningkat, yang otomatis akan meningkatkan laju penumpukan sampah tersebut. Bila kita menganggap hal ini murni urusan pemerintah karena sudah bayar uang kebersihan, maka kita tidak usah peduli, atau melakukan demonstrasi saja ke gedung pemerintah jika persoalan ini terjadi. Namun itu tidak akan memecahkan masalah karena pemerintah sendiri kesulitan. Yang bisa mereka lakukan adalah membuat TPA baru, namun proses pembuatan itu seringkali ditentang oleh masyarakat di sekitarnya, walaupun pemerintah berusaha meyakinkan masyarakat kalau pembuatan TPA itu tidak akan merugikan mereka. Di samping itu bila kita melakukan demonstrasi, maka sebenarnya kita sudah dimanfaatkan oleh lawan-lawan politik pemerintahan tersebut.
Hal ini berbeda bila kita menganggap bahwa sampah semata-mata bukan urusan pemerintah saja. Lebih-lebih bila ingin mendapatkan penghasilan dari sampah. Bila kita beranggapan seperti ini, maka salah satu cara yang paling mudah kita lakukan adalah mengkomposkan sampah dapur atau sisa-sisa makanan / masakan yang organik. Sudah banyak buku-buku yang beredar di pasaran yang menjelaskan bagaimana cara mengkomposkan sampah rumah tangga sendiri. Bahkan ada pula artikel di kulinet yang memaparkan teknologinya. Dari sekedar menimbun ke dalam tanah, membuat biopori, membuat drum biogas, drum kompos aerobik sampai membuat keranjang "takakura". Bahkan di pasaran juga sudah tersedia drum kompos komersil. Saya sendiri menggunakannya, dan sampai sekarang tongnya belum penuh-penuh meskipun selalu saya masukkan sampah dapur satu keresek setiap harinya (walau saya belum pernah memanen kompos dari situ). Artinya proses penguraiannya berhasil sehingga bobot sampah organiknya menyusut banyak. Memang tidak semua sampah bisa dikomposkan, namun bila kita melakukan pengkomposan ini, "pendapatan" tukang sampah akan benar-benar berkurang drastis.
Menurut teori, bila kita mengkomposkan satu ton sampah organik, maka dalam waktu 10-14 hari akan diperoleh 400 kg kompos padat dan satu liter pupuk cair. Ini bila kita menggunakan drum kompos yang statis, bila kita menggunakan drum yang bisa diputar, bisa lebih cepat lagi. Bila satu kg pupuk organik dihargai Rp 1000,- , berarti bila kita mengkomposkan 1 ton sampah organik, dalam 10-14 hari kita mendapatkan pupuk kompos padat seharga 400 ribu (belum termasuk pupuk cairnya). Tentu ada biaya pemasaran, pengolahan, pembelian bahan penggembur atau mikroba tambahan (bila perlu) dan pengemasan, serta dibutuhkan pula yang cukup untuk mencacah sampah yang terlalu besar, memasukkan sampah, mengeringkan kompos yang baru dipanen, memasukkan dalam plastik serta mengirimkannya ke tempat jual tanaman. Namun bila kita memiliki jumlah peralatan yang cukup, kita bisa tetap untung. Namun ada beberapa permasalahan bila kita ingin membisniskan kegiatan pengkomposan sampah organik ini, antara lain :
1. Masalah kesehatan. BIla kita menggunakan drum kompos komersial atau buatan sendiri yang cukup aerasinya, maka kita tidak perlu mengkhawatirkan lalat, bau busuk ataupun tikus. Namun bila kita membuka tongnya, tetap saja bisa banyak lalat yang keluar. Di samping itu, proses pengkomposan akan menghasilkan banyak sekali gas CO2, hal ini bisa diketahui dari banyaknya penyusutan massa sampah dari satu ton menjadi 400 kg. Oleh karena itu sebaiknya di dekat tempat pengolahan terdapat banyak pohon atau tanaman yang dapat menyerap gas tersebut, meskipun gasnya sendiri tidak berbau. Dengan demikian kita tidak dituduh meningkatkan pemanasan global.
2. Masalah sosialisasi. Kita mengolah sampah rumah tangga dengan peralatan yang tertutup dan tidak bau. Namun bila ada orang di lingkungan kita yang sakit, bisa saja tong-tong kita yang disalahkan. Karena itu kita harus baik dengan tetangga, memberikan penerangan yang cukup meyakinkan dan harus mendapatkan ijin mereka terlebih dahulu sebelum melakukan usaha, termasuk ijin dari RT dan RW. Namun bila pemerintah sungguh-sungguh hendak menjalankan undang-undang no 18/2008 maka bukannya menentang, tetangga-tetangga kita malah membutuhkan kita untuk mengolah sampah mereka.
3. Masalah kuantitas sampah. Bila kita mengkompos hanya untuk keperluan sendiri saja maka tidak perlu sampah dalam jumlah banyak. Namun bila kita ingin untung besar, maka kita butuh banyak bahan baku. Sayang memilah sampah bukan budaya masyarakat Indonesia di perkotaan. Bahkan bila kita sudah memilah-milahnya, akan dicampur begitu saja oleh tukang sampah. Dan kalau sampah sudah terkumpul di tempat pengumpulan, untuk memilah-milahnya butuh usaha yang berat. Orang hanya berpikir untuk membakarnya, walaupun membakar sampah organik dengan plastik itu menimbulkan senyawa dioksin yang berbahaya untuk kesehatan. Atau, mengirimkannya begitu saja ke TPA. Namun bila tempat tinggal kita dekat hotel, maka hal ini bisa menguntungkan kita, sebab hotel memang sudah diwajibkan untuk memilah sampah mereka. Dengan demikian dengan lobby yang baik, kita bisa mendapatkan biomassa yang kita perlukan, bahkan malah dibayar.
4. Masalah pemasaran. Untuk sampah dapur sendiri kita tidak perlu memikirkan pemasaran karena kompos yang terbentuk hanya sedikit, namun bila kompos yang terkumpul sudah cukup banyak, maka tentu harus dijual. Kita bisa menjual ke tukang tanaman, atau ke perusahaan yang mengumpulkan kompos dari rumah tangga (di bandung sudah ada). Bahkan bila kita sanggup memproduksi kompos dalam skala ton dan punya koneksi, kita bisa menjualnya langsung ke perkebunan.
Hal ini berbeda bila kita menganggap bahwa sampah semata-mata bukan urusan pemerintah saja. Lebih-lebih bila ingin mendapatkan penghasilan dari sampah. Bila kita beranggapan seperti ini, maka salah satu cara yang paling mudah kita lakukan adalah mengkomposkan sampah dapur atau sisa-sisa makanan / masakan yang organik. Sudah banyak buku-buku yang beredar di pasaran yang menjelaskan bagaimana cara mengkomposkan sampah rumah tangga sendiri. Bahkan ada pula artikel di kulinet yang memaparkan teknologinya. Dari sekedar menimbun ke dalam tanah, membuat biopori, membuat drum biogas, drum kompos aerobik sampai membuat keranjang "takakura". Bahkan di pasaran juga sudah tersedia drum kompos komersil. Saya sendiri menggunakannya, dan sampai sekarang tongnya belum penuh-penuh meskipun selalu saya masukkan sampah dapur satu keresek setiap harinya (walau saya belum pernah memanen kompos dari situ). Artinya proses penguraiannya berhasil sehingga bobot sampah organiknya menyusut banyak. Memang tidak semua sampah bisa dikomposkan, namun bila kita melakukan pengkomposan ini, "pendapatan" tukang sampah akan benar-benar berkurang drastis.
Menurut teori, bila kita mengkomposkan satu ton sampah organik, maka dalam waktu 10-14 hari akan diperoleh 400 kg kompos padat dan satu liter pupuk cair. Ini bila kita menggunakan drum kompos yang statis, bila kita menggunakan drum yang bisa diputar, bisa lebih cepat lagi. Bila satu kg pupuk organik dihargai Rp 1000,- , berarti bila kita mengkomposkan 1 ton sampah organik, dalam 10-14 hari kita mendapatkan pupuk kompos padat seharga 400 ribu (belum termasuk pupuk cairnya). Tentu ada biaya pemasaran, pengolahan, pembelian bahan penggembur atau mikroba tambahan (bila perlu) dan pengemasan, serta dibutuhkan pula yang cukup untuk mencacah sampah yang terlalu besar, memasukkan sampah, mengeringkan kompos yang baru dipanen, memasukkan dalam plastik serta mengirimkannya ke tempat jual tanaman. Namun bila kita memiliki jumlah peralatan yang cukup, kita bisa tetap untung. Namun ada beberapa permasalahan bila kita ingin membisniskan kegiatan pengkomposan sampah organik ini, antara lain :
1. Masalah kesehatan. BIla kita menggunakan drum kompos komersial atau buatan sendiri yang cukup aerasinya, maka kita tidak perlu mengkhawatirkan lalat, bau busuk ataupun tikus. Namun bila kita membuka tongnya, tetap saja bisa banyak lalat yang keluar. Di samping itu, proses pengkomposan akan menghasilkan banyak sekali gas CO2, hal ini bisa diketahui dari banyaknya penyusutan massa sampah dari satu ton menjadi 400 kg. Oleh karena itu sebaiknya di dekat tempat pengolahan terdapat banyak pohon atau tanaman yang dapat menyerap gas tersebut, meskipun gasnya sendiri tidak berbau. Dengan demikian kita tidak dituduh meningkatkan pemanasan global.
2. Masalah sosialisasi. Kita mengolah sampah rumah tangga dengan peralatan yang tertutup dan tidak bau. Namun bila ada orang di lingkungan kita yang sakit, bisa saja tong-tong kita yang disalahkan. Karena itu kita harus baik dengan tetangga, memberikan penerangan yang cukup meyakinkan dan harus mendapatkan ijin mereka terlebih dahulu sebelum melakukan usaha, termasuk ijin dari RT dan RW. Namun bila pemerintah sungguh-sungguh hendak menjalankan undang-undang no 18/2008 maka bukannya menentang, tetangga-tetangga kita malah membutuhkan kita untuk mengolah sampah mereka.
3. Masalah kuantitas sampah. Bila kita mengkompos hanya untuk keperluan sendiri saja maka tidak perlu sampah dalam jumlah banyak. Namun bila kita ingin untung besar, maka kita butuh banyak bahan baku. Sayang memilah sampah bukan budaya masyarakat Indonesia di perkotaan. Bahkan bila kita sudah memilah-milahnya, akan dicampur begitu saja oleh tukang sampah. Dan kalau sampah sudah terkumpul di tempat pengumpulan, untuk memilah-milahnya butuh usaha yang berat. Orang hanya berpikir untuk membakarnya, walaupun membakar sampah organik dengan plastik itu menimbulkan senyawa dioksin yang berbahaya untuk kesehatan. Atau, mengirimkannya begitu saja ke TPA. Namun bila tempat tinggal kita dekat hotel, maka hal ini bisa menguntungkan kita, sebab hotel memang sudah diwajibkan untuk memilah sampah mereka. Dengan demikian dengan lobby yang baik, kita bisa mendapatkan biomassa yang kita perlukan, bahkan malah dibayar.
4. Masalah pemasaran. Untuk sampah dapur sendiri kita tidak perlu memikirkan pemasaran karena kompos yang terbentuk hanya sedikit, namun bila kompos yang terkumpul sudah cukup banyak, maka tentu harus dijual. Kita bisa menjual ke tukang tanaman, atau ke perusahaan yang mengumpulkan kompos dari rumah tangga (di bandung sudah ada). Bahkan bila kita sanggup memproduksi kompos dalam skala ton dan punya koneksi, kita bisa menjualnya langsung ke perkebunan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar