Senin, 04 April 2011

Anti Monopoli dan Kepailitan

Nama : Vania Putri Rahmanto
NPM : 21209541
Kelas : 2EB13


Nama : Vania Putri Rahmanto

NPM : 21209541

Kelas : 2EB13

Anti Monopoli Dan Kepailitan

Istilah monopoli di USA sering digunakan kata “antitrust” untuk pengertian yang sepadan dengan istilah “anti monopoli” atau istilah “dominasi” yang dipakai masyarakat Eropa yang artinya juga sepadan dengan arti istlah “monopoli” Disamping itu terdapat istilah yang artinya hampir sama yaitu “kekuatan pasar”. Dalam praktek keempat kata tersebut, yaitu istilah “monopoli”, “antitrust”, “kekuatan pasar” dan istilah “dominasi” saling dipertukarkan pemakaiannya. Keempat istilah tersebut dipergunakan untuk menunjukkan suatu keadaan dimana seseorang menguasai pasar ,dimana dipasar tersebut tidak tersedia lagi produk subtitusi yang potensial, dan terdapatnya kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga produk tersebut yang lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum tentang permintaan dan penawaran pasar.

Undang-Undang Anti Monopoli No 5 Tahun 1999 memberi arti kepada monopolis sebagai suatu penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha (pasal 1 ayat (1) Undang-undagn Anti Monopoli ). Sementara yang dimaksud dengan “praktek monopoli” adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh salah satu atau lebih pelaku yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sesuai dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Anti Monopoli .

Selain itu, Undang-Undang Anti monopoli juga memberikan arti kepada “persaingan usaha tidak sehat” sebagai suatu persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang dilakukan dengan cara-cara yang tidak jujur atau dengan cara melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.

Dengan demikian Undang-undang Anti Monopoli No 5 tahun 1999 dalam memberikan arti kepada posisi dominan atau perbuatan anti persaingan lainnya mencakup baik kompetisi yang interbrand, maupun kompetisi yang intraband. Yang dimaksud dengan kompetisi yang interbrand adalah kompetisi diantara produsen produk yang generiknya sama. Dilarang misalnya jika satu perusahaan menguasai 100 persen pasar televisi, atau yang disebut dengan istilah “monopoli”. Sedangkan yang dimaksud dengan kompetisi yang intraband adalah kompetisi diantar distributor atas produk dari produsen tertentu. (Munir Fuady 2003: 6)

Disamping itu, ada juga yang mengartikan kepada tindakan monopoli sebagai suatu keistimewaan atau keuntungan khusus yang diberikan kepada seseorang atau beberapa orang atau perusahaan, yang merupakan hak atau kekuasaan yang eksklusif untuk menjalankan bisnis atau mengontrol penjualan terhadap seluruh suplai barang tertentu .

Ruang Lingkup Hukum Anti Monopoli

Dalam Undang-undang Fair Trading di Inggris tahun 1973, istilah Monopoli diartikan sebagai keadaan di mana sebuah perusahaan atau sekelompok perusahaan menguasai sekurang- kurangnya 25 % penjualan atau pembelian dari produk-produk yang ditentukan . Sementara dalam Undang-Undang Anti Monopoli Indonesia , suatu monopoli dan monopsoni terjadi jika terdapatnya penguasaan pangsa pasar lebih dari 50 % (lima puluh persen ) (pasal 17 ayat (2) juncto pasal 18 ayat (2) ) Undang-undang no 5 Tahun 1999

Dalam pasal 17 ayat (1) Undang- undang Anti Monopoli dikatakan bahwa “pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan pasar atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat”, sedangkan dalam pasal 17 ayat (2) dikatakan bahwa “pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila:

a. Barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada subtitusinya;atau

b. Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk kedalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama;atau

c. Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha mengusasai lebih dari 50 % (lima puluh persen ) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Sementara itu, pengertian posisi dominan dipasar digambarkan dalam sidang-sidang Masyarakat Eropa sebagai :

a) Kemampuan untuk bertindak secara merdeka dan bebas dari pengendalian harga, dan

b) Kebergunaan pelanggan, pemasok atau perusahaan lain dalam pasar, yang bagi mereka perusahaan yang dominant tersebut merupakan rekan bisnis yang harus ada

c) Dalam ilmu hukum monopoli beberapa sikap monopolistik yang mesti sangat dicermati dalam rangka memutuskan apakah suatu tindakan dapat dianggap sebagai tindakan monopoli. Sikap monopolistik tersebut adalah sebagai berikut :

1. Mempersulit masuknya para pesaing ke dalam bisnis yang bersangkutan

2. Melakukan pemasungan sumber suplai yang penting atau suatu outlet distribusi yang penting.

3. Mendapatkan hak paten yang dapat mengakibatkan pihak pesaingnya sulit untuk menandingi produk atau jasa tersebut.

4. Integrasi ke atas atau ke bawah yang dapat menaikkan persediaan modal bagi pesaingnya atau membatasi akses pesaingnya kepada konsumen atau supplier.

5. Mempromosikan produk secara besar-besaran

6. Menyewa tenaga-tenaga ahli yang berlebihan.

7. Perbedaan harga yang dapat mengakibatkan sulitnya bersaing dari pelaku pasar yang lain

8. Kepada pihak pesaing disembunyikan informasi tentang pengembangan produk , tentang waktu atau skala produksi.

9. Memotong harga secara drastis.

10. Membeli atau mengakuisisi pesaing- pesaing yang tergolong kuat atau tergolong prospektif.

11. Menggugat pesaing-pesasingnya atas tuduhan pemalsuan hak paten, pelanggaran hukum anti monopoli dan tuduhan-tuduhan lainnya. ( Andersen, William R, 1985:214 dalam Munir Fuady, 2003: 8).

Jika kita telusuri ketentuan dalam Undang-Undang Anti Monopoli Nomor 5 Tahun 1999, maka tindakan–tindakan yang berhubungan dengan pasar yang perlu diatur oleh hukum anti monopoli yang sekaligus merupakan ruang lingkup dari hukum anti monopoli tersebut adalah sebagai berikut:

a) Perjanjian yang dilarang;

b) Kegiatan yang dilarang;

c) Penyalahgunaan posisi dominan;

d) Komisi Pengawas Persaingan Usaha;

e) Tata cara penanganan perkara;

f) Sanksi-sanksi;

g) Perkecualian-perkecualian.

Sedangkan Perjanjian yang dilarang oleh BAB III Undang-undang Anti Monopoli adalah sebagai berikut :

1. Perjanjian –perjanjian tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar yang terdiri dari :

a) Oligopoli;

b) Penetapan harga;

c) Pembagian Wilayah;

d) Pemboikotan;

e) Kartel;

f) Trust;

g) Integrasi vertical;

h) Perjanjian tertutup;

i) Perjanjian dengan pihak luar negeri.

2. Kegiatan-kegiatan tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar, yang meliputi kegiatan- kegiatan sebagai berikut:

a) Monopoli;

b) Monopsoni;

c) Penguasaan pasar;

d) Persekongkolan;

3. Posisi dominan di pasar yang meliputi:

a) Pencegahan konsumen untuk memperoleh barang atau jasa yang bersaing;

b) Pembatasan pasar dan pengembangan teknologi;

c) Menghambat pesaing untuk masuk pasar;

d) Jabatan rangkap;

e) Pemilikan saham;

f) Merger, akuisisi,dan konsolidasi;

Pada sistematika menurut Undang-undang Anti Monopoli no 5 tahun 1999 seperti tersebut diatas, maka kita dapat juga mendeskripsikan ruang lingkup dari hukum anti monopoli menjadi sebagai berikut.

1. Tentang Pembatasan Persaingan yang Horisontal.

2. Tentang pembatasan Persaingan yang Vertikal.

3. Tentang Penguasaan Pangsa Pasar yang Besar.

4. Tentang Penyalahgunaan posisi Dominan.

5. Tentang Diskripsi Harga.

6. Tentang Merger dan Akuisisi.

7. Tentang Badan Penegakan Hukum.

8. Tentang Sanksi-sanksi.

9. Tentang Prosedur Penegakan Hukum.

10.Tentang perkecualian-perkecualian.

Penyelenggaraan jaringan tetap dan penyelenggaraan jasa teleponi dasar dikategorikan sebagai penyelenggara posisi dominan sebagaimana dimaksud dengan pasal 3 Keputusan Menteri Perhubungan nomor KM 33 Tahun 2004 tentang Pengawasan Kompetisi yang sehat dalam penyelenggraan jaringan tetap dan penylenggaraan jasa teleponi dasar, dilarang untuk:

a. Menyalahgunakan (abuse) posisi dominannya untuk melakukan praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat;

b. Melakukan dumping atau menjual atau menyelenggarakan usahanya dengan tarif yang lebih rendah dari biaya (cost) dan atau menyelenggarakan atau menjual jasanya dengan harga diatas tarif yang telah ditetapkan melalui formula tarif sesuai ketentuan yang berlaku;

c. Menggunakan pendapatannya untuk melakukan subdisi biaya terhadap penyelenggaraan jaringan tetap dan penyelenggaraan jasa teleponi dasar lain yang lebih kompetitif dan tidak memiliki posisi dominan yang juga diselenggarakannya;

d. Mensyaratkan atau memaksa secara langsung atau tidak langsung pengguna atau pelanggannya untuk hanya menggunakan jaringan dan jasa teleponi dasar ( SLJJ dan SLI) yang diselenggaraknnya;

e. Tidak memberikan layanan interkoneksi atau melakukan tindakan diskriminatif kepada penyelenggara jaringan tetap dan penyelenggara jasa teleponi dasar lain yang mengajukan permintaan interkoneksi.

Dalam teori ilmu hukum, larangan terhadap tindakan monopoli atau persaingan curang garis besarnya dilakukan dengan memakai salah satu dari dua teori sebagai berikut :

1) Teori Per Se, dan

2) Teori Rule of Reason

Dengan teori Per Se dimaksudkan bahwa pelaksanaan setiap tindakan yang dilarang akan bertentangan dengan hukum yang berlaku, sementara dengan teori Rule Of Reason, jika dilakukan tindakan tersebut, masih dilihat seberapa jauh hal tersebut akan merupakan monopoli atau akan berakibat pada pengekangan persaingan pasar. Jadi tidak seperti pada teori Per Se, dengan memakai teori Rule of Reason tindakan tersebut tidak otomatis dilarang, sungguhpun perbuatan yang dituduhkan tersebut dalam kenyataannya terbukti telah dilakukan.(A.M Tri Anggraini, 2005 dalam Jurnal Hukum Bisnis Volume 24 halaman 5)

Sejarah Hukum Anti Monopoli di Indonesia

Tidak banyak yang dicatat dalam sejarah Indonesia di seputar kelahiran dan perkembangan hukum anti monopoli ini. Yang banyak dicatat adalah sejarah justru tindakan-tindakan atau perjanjian dalam bisnis yang sebenarnya harus dilarang oleh Undang-Undang Anti Monopoli.

Dimasa orde baru Soeharto misalnya, di masa itu sangat banyak terjadi monopoli, oligopoly dan perbuatan lain yang menjurus kepada persaingan curang. Misalnya monopoli tepung terigu, cengkeh, jeruk, pengedaran film dan masih banyak lagi. Bahkan dapat dikatakan bahwa keberhasilan beberapa konglomerat besar di Indonesia juga bermula dari tindakan monopoli dan persaingan curang lainnya, yang dibiarkan saja bahkan didorong oleh pemerintah kala itu.

Karena itu tidak mengherankan jika cukup banyak para praktisi maupun teoritisi hukum dan ekonomi kala itu yang menyerukan agar segera dibuat sebuah Undang-undang Anti Monopoli. Namun sampai dengan lengsernya Mantan Presiden Soeharto, dimana baru dimasa reformasi tersebut diundangkan sebuah undang-undang Anti Monopoli No 5 Tahun 1999. Memang sebelum lahirnya Undang-undang anti monopoli secara sangat minim dalam beberapa undang-undang telah diatur tentang monopoli atau persaingan curang ini sangat tidak memadai, ternyata tidak popular dimasyarakat dan tidak pernah diterapkan dalam kenyataannya. Ketentuan tentang anti monopoli atau persaingan curang sebelum diatur dalam Undang-undang anti monopoli tersebut, diatur dalam ketentuan –ketentuan sebagai berikut:

a) Undang- undang no 5 Tahun 1984 tentang perindustrian.

Diatur dalam Pasal 7 ayat (2) dan (3), pasal 9 ayat (2)

b) Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Terdapat satu pasal yaitu pasal 382 bis.

c) Undang-undang Perseroan Terbatas No 1 Tahun 1995

Ketentuan monopoli diatur dalam pasal 104 ayat (1)

DAFTAR PUSTAKA

http://click-gtg.blogspot.com/2008/08/anti-monopoli-dan-persaingan-usaha.html

http://leapidea.com/presentation?id=39

Perlindungan Konsumen

Nama : Vania Putri Rahmanto
NPM : 21209541
Kelas : 2EB13

Perlindungan Konsumen

Perlindungan konsumen adalah perangkat hukum yang diciptakan untuk melindungi dan terpenuhinya hak konsumen. Sebagai contoh, para penjual diwajibkan menunjukkan tanda harga sebagai tanda pemberitahuan kepada konsumen.

PENGERTIAN :

Menurut Undang-undang no. 8 Tahun 1999, pasal 1 butir 1 :

“segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.

GBHN 1993 melalui Tap MPR Nomor II/MPR/1993, Bab IV, huruf F butir 4a:

“ … pembangunan perdagangan ditujukan untuk memperlancar arus barang dan jasa dalam rangka menunjang peningkatan produksi dan daya saing, meningkatkan pendapatan produsen, melindungi kepentingan konsumen…”

PERANGKAT HUKUM

Indonesia

UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Republik Indonesia menjelaskan bahwa hak konsumen diantaranya adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa; hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan sebagainya.

Di Indonesia, dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat mengajukan perlindungan adalah:

· Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 , dan Pasal 33.

· Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821

· Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat.

· Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesian Sengketa

· Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen

· Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota

· Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795 /DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen

PENGERTIAN KONSUMEN

Menurut Undang-undang no. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen :

Pasal 1 butir 2 :

“ Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.

Menurut Hornby :

“Konsumen (consumer) adalah seseorang yang membeli barang atau menggunakan jasa; seseorang atau suatu perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu; sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang; setiap orang yang menggunakan barang atau jasa”.

KONSUMEN AKHIR

Yang dimaksud Konsumen Akhir :

Menurut BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional) :

“Pemakai akhir dari barang, digunakan untuk keperluan diri sendiri atau orang lain dan tidak diperjualbelikan”

Menurut YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia):

“Pemakai Barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi keperluan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain dan tidak untuk diperdagangkan kembali”.

Menurut KUH Perdata Baru Belanda :

“orang alamiah yang mengadakan perjanjian tidak bertindak selaku orang yang menjalankan profesi atau perusahaan”.

HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

Adalah :

“Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam

Hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan/ atau jasa konsumen”.

Jadi kesimpulan dari pengertian –pengertian diatas adlh :

Bahwa Hukum perlindungan Konsumen dibutuhkan apabila kondisi para pihak yang mengadakan

Hubungan hukum atau yang bermasalah dalam keadaan yang tidak seimbang.

Pasal 2 UU No. 8/ 1999, tentang Asas Perlindungan Konsumen :

“Perlindungan konsumen berdasarkan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum”.

Sedangkan Pasal 3 UU No. 8/ 1999, tentang Tujuan Perlindungan Konsumen :

Perlindungan Konsumen bertujuan :

a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakai barang dan/ atau jasa;

c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;

f. meningkatkan kualitas barang dan/ atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/ atau jasa, kesehatan , kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA

Kata-kata "Perlindungan Konsumen" bukan lagi merupakan istilah atau kata baru dalam kehidupan kita sehari-hari. Undang-Undang Perlindungan Konsumen pun telah diundangkan sejak tahun 1999 di bawah Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang tersebut pun telah diberlakukan sejak tanggal diundangkannya. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia telah berdiri jauh sebelum Undang-Undang Perlindungan Konsumen dibidani dan dilahirkan. Namun demikian perlindungan konsumen di Indonesia masih jauh dari pengharapan. Tulisan ini dibuat untuk memberikan pemahaman lagi bagi konsumen dan pelaku usaha di Indonesia mengenai pentingnya perlindungan konsumen bagi semua, tidak hanya konsumen tetapi juga pelaku usaha, karena eksistensi atau keberadaan perlindungan konsumen yang baik akan menciptakan sustainability bagi pelaku usaha untuk jangka waktu yang panjang.

KONSUMEN DAN PELAKU USAHA

Yang disebut dengan konsumen adalah "setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan ". "Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam Undang-undang int adalah konsumen akhir".

Dalam Blakcs Law Dictionary edisi 6 dikatakan bahwa yang dimaksud dengan "Consumer in economics, is an individual who buys goods and services for personal use rather than for manufacture. It has been said that the consumer is the last person to whom property passes in the course of ownership and that this is the test of a retail transaction ".

Jadi dalam hal ini dapat dikatakan bahwa seorang konsumen adalah pengguna akhir dan suatu barang dan atau jasa, dengan tidak perlu memperhatikan apakah konsumen ini adalah pembeli barang dan atau jasa yang dipergunakan olehnya tersebut. Jika konsumen ini adalah pembeli barang dan atau jasa, maka dapat dipastikan bahwa konsumen adalah orang yang terakhir kali melakukan pembelian barang dan atau jasa tersebut dan selanjutnya mempergunakannya untuk keperluannya pribadi maupun keluarganya.

Selanjutnya yang dinamakan dengan Pelaku Usaha adalah "setiap perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara RepublikIndonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi".

PERLINDUNGAN KONSUMEN (DI INDONESIA)

Yang dimaksud dengan perlindungan konsumen adalah "segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen . Dalam Black s Law Didtionary edisi 6 dikatakan bahwa "Consumer protection refers to laws designed to aid retail consumers of goods and services that have been improperly manufactured, delivered, performed, handled, or described. Such laws provide the retail consumer with additional protections and remedies not generally provided to merchant and others who engaged in business transactions, on the premise that consumers do not enjoy an arms-length" bargaining position with respect to the businessmen with whom they deal and therefore should not be strictly limited by the legal rules that govern recovery for damages among businessmen."

Jadi perlindungan konsumen ini adalah suatu upaya (dalam lapangan hukum) yang diberikan kepada konsumen pada saat konsumen tersebut mulai melakukan proses pemilihan serangkaian atau sejumlah barang dan atau jasa tersebut dan selanjutnya memutuskan untuk menggunakan barang dan jasa dengan spesifikasi tertentu dan merek tertentu, hingga akibat yang terjadi setelah barang dan jasa tersebut dipergunakan oleh konsumen. Yang disebut terdahulu, yaitu upaya perlindungan pada saat konsumen tersebut mulai melakukan proses pemilihan serangkaian atau sejumlah barang dan atau jasa disebut upaya preventif; sedangkan upaya selanjutnya disebut dengan upaya kuratif.

Konsumen dilindungi dari setiap tindakan atau perbuatan dari produsen barang dan atau jasa, importer, distributor penjual dan setiap pihak yang berada dalam jalur perdagangan barang dan jasa ini, yang pada umumnya disebut dengan nama pelaku usaha.Ada dua jenis perlindungan yang diberikan kepada konsumen, yaitu perlindungan priventlf dan perlindungan kuratif Perlindungan preventif adalah perlindungan yang diberikan kepada konsumen pada saat konsumen tersebut akan membeli atau menggunakan atau memanfaatkan suatu barang dan atau jasa tertentu, mulai melakukan proses pemilihan serangkaian atau sejumlah barang dan atau jasa tersebut dan selanjutnya memutuskan untuk membeli, atau menggunakan atau memanfaatkan barang dan jasa dengan spesifikasi tertentu dan merek tertentu tersebut.

Perlindungan kuratif adalah perlindungan yang diberikan kepada konsumen sebagai akibat dari penggunaan atau pemanfaatan barang atau jasa tertentu oleh konsumen.Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa konsumen belum tentu dan tidak perlu serta tidak boleh dipersamakan dengan pembeli barang dan atau jasa, meskipun pada umumnya konsumen adalah mereka yang membeli suatu barang atau jasa. Dalam hal ini seseorang dikatakan konsumen, cukup jika orang tersebut adalah pengguna atau pemanfaat atau penikmat dari suatu barang atau jasa, tidak peduli ia mendapatkannya melalui pembelian atau pemberian.

DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Perlindungan_konsumen
http://www.perlindungankonsumen.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=98:perlindungan-konsumen-di-indonesia&catid=57:realitas