Jumat, 31 Desember 2010

Artikel Ekonomi

Nama : Vania Putri Rahmanto
NPM : 21209541
Kelas : 2EB13


Konsentrasi Perdagangan Pangan Global dan Kita

Produk pertanian yang diperdagangkan di pasar dunia hanya 9% dari total keseluruhan produk perdagangan, akan tetapi produk pangan mengambil pangsa 80%. Produksi dan perdagangan pangan tidak berada dalam kendali negara berkembang, tetapi dikendalikan oleh MNCs (Multinational National Corporations) negera maju. Padahal, di negara berkembang, seperti Indonesia, produksi pangan sangat fital, bukan sekedar terkait dengan ketahanan pangan dan ketahanan nasional, tetapi juga menggerakkan ekonomi rakyat dan ekonomi perdesaan.


• Pasar pangan global semakin terkonsentrasi, dan peran MNCs semakin besar dan kuat. FAO mengungkapkannya sbb: (i) lima perusahaan menguasai 90% perdagangan pangan biji-bijian global; (ii) sekitar 75% perdagangan sirealia global dikuasai oleh 2 MNCs yaitu Cargill dan ADM (Archer Daniels Midland); (iii) tiga puluh korporasi utama untuk pangan eceran menguasai 30% dari penjualan global; (iv) enam korporasi menguasai 75% pasar pestisida global. MNCs telah merambah dan menguasai industri hulu (seperti industri benih/ pupuk/ pestisida) dan hilir (pengolahan/pakan ternak/ pengepakan/ standarisasi dll), perusahaan lain sulit dan berisiko tinggi kalau masuk dalam industri dan perdagangan tersebut, sehingga telah menimbulkan persaingan yang tidak sehat dan tidak transparan.

• J.E. Stiglitz pemenang nobel ekonomi dan masyarakat sipil internasional memberi komentar miring terhadap keberadaan MNCs. Korporasi yang serakah, tanpa hati nurani, menempatkan keuntungan di atas segala-galanya. Sejumlah sifat burukpun diungkap. Misalnya, Nestle mengimbau agar para ibu menggantikan ASI dengan susu formula. Konspirasi perusahaan rokok di AS yang mengatakan tidak ada bukti bahwa rokok buruk buat kesehatan. Mosanto menghasilkan benih yang tidak dapat digandakan kembali oleh petani, sehingga petani sempit harus bergantung pada benih dari luar. Wal-Mart atau Carrefour menjual barang-barang murah dan berada di berbagai pelosok negeri hingga menggusur UKM. Padahal UKM adalah tulang punggung masyarakat di negara berkembang. Stiglitz berpendapat bahwa apabila keberadaan MNCs melemahkan masyarakat, maka dalam jangka panjang akan memperlemah pembangunan. FAO mengakui kekuatan MNCs multi faset, tidak konsentrasi pada pasar belaka, tetapi mereka memperoleh perlakuan istimewa oleh pemerintah negara berkembang yang haus investasi, seperti dalam memperoleh informasi, kekuatan modal dan lobi politik, sehingga mampu mengarahkan kebijakan pemerintah, yang melindungi dan menguntungkan mereka.

• Keberadaan dan sepak terjang mereka, sebut saja diantaranya Cargill, Nestle, Unilever, Danone, Coca Cola, Bayer Crop, Monsanto, Philip Morris, Carrefour sudah dan akan terus kita rasakan dengan konotasi baik dan buruknya. Impor kedelai Indonesia dikendalikan oleh 4 perusahaan besar, salah satu diantaranya Cargill. Indonesia juga memberikan izin dan kemudahan impor gula rafinasi untuk Nestle, Coca Cola, Tanabe, yang sebagian gula rafinasi tersebut merembes ke pasar konsumsi langsung, hingga telah menekan harga gula dalam negeri. Pabrik pakan di tanah air dikuasai oleh Charoen Pokphan, Cargill mengutamakan penggunaan jagung impor dengan alasan kualitas lebih bagus dan kontinuitas lebih terjamin, padahal intinya adalah harganya lebih murah. Sama juga dengan susu, Nestle menguasai 33% pangsa penjualan susu olahan di Indonesia, lebih senang mengimpor susu daripada menyerap susu milik peternak dalam negeri, kecuali pada saat harga susu di pasar dunia tinggi. Banyak perusahaan MNCs yang mengambil alih perusahaan agribisnis di Indonesia. Kecap, sirup dan saos bermerek ABC yang sebagian besar (65%) sahamnya milik HJ.Heinz (AS), seluruh saham teh ABC milik PT Sari Wangi dibeli oleh Unilever (Inggeris), juga kecap Cap Bango dan makanan ringan Taro. Air minum dalam kemasan (AMDK) bermerk Aqua, 74% saham dikuasai Danone (Perancis) dan seluruh saham Ades dimiliki oleh Coca Cola (AS).

• Para ekonom nasionalis, sebut saja diantaranya Sri-Edi Swasono, Kwik Kian Gie, Rizal Ramli telah mengingatkan berkali-kali via tulisannya di berbagai buku dan media. Pemerintah dalam mengelola sumberdaya dan visi pembangunan telah menjauhi konstitusi, menjauhi kepentingan rakyat banyak. Pemerintah menganut pasar bebas, swastanisasi BUMN yang kebablasan tanpa disaring dan dipersiapkan secara terencana dan baik, sehingga semakin sulit Indonesia mengujudkan demokrasi ekonomi, sesuai pesan Pasal 33 UUD 1945. Mengutip kegusaran Prof Swasono: kapan presiden dan para menterinya taat konstitusi? Presiden SBY dikecoh Wapres dan menteri-menteri ekonominya yang neoliberal.

Sumber : http://www.ekonomirakyat.org/editorial.php?id=11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar